Mirzmade

ikhtiar memelihara klangenan bernama aksara

20.22

Ziarah Seorang Ayah di Makam Mendiang Putranya

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

…dan lalu pena tergores (sedikit terbata)
di atas lembab nisan batu:
“bagaimana mungkin kau ada di neraka,
bila nyata-nyata kau ada di hatiku?”
Yogyakarta, 30 Oktober 2011

02.36

Buat N.P.D.S.

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

"Aku takut - atau sekadar gamang - menatap masa depan yang belakangan tak lagi gamblang...", katamu. Lalu pelan-pelan ujung telunjukmu mendarat di manset kemejaku. Tahun menggugur daun, penghujan padam, kemarau bersih pada bunga-bunga tembakau. Kamu tetap seperti yang dulu: dahaga pada kata, dendam pada gumam, rindu pada abu-abu yang dibekukan waktu. Apa daya: aku juga sepertinya sama saja. Berdamai dengan masa lalu jelas tak mungkin, meski perahu jauh mengarung lautan yang dingin (di belakangku, dermaga telah hangus bersama humus). Yang setara tak selamanya menyenangkan, karena pada trauma aku tak ingin diingatkan...
Yogyakarta, 10 Juni 2011

02.10

Anjing Tua

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

- buat Bapak

Sore itu orang-orang sekampung
nimbrung, bergunjing tentang seorang wanita.
Tangisnya miris, meratapi yang mati:
anjing kesayangannya

Kabarnya, seorang pria muda nan perkasa
(yang belakangan jadi suami barunya)
telah menggorok si anjing tua. Bengis, bak mengusap najis
tanpa kata, tanpa aba-aba, tanpa dosa…

Tubuh gelepar, urat-urat getar, darah tebar!
Leher putus, pertanda hitung mundur menuju mampus
Anyir bau darah yang percik pada terompah
Menuntun si anjing pikun pada maut
yang, barang sekali saja, tak pernah luput

Kata mereka, sesaat saja mata sang wanita pelan-pelan berkaca-kaca.
Karena tak kan dia dengar lagi gonggong yang sumbang
pada tiap senja jingga, menjemput malam ungu datang

(atau jilatan mesra, saat malam berlabuh pada semilir subuh)

Tak kan dia salahkan si pria muda nan perkasa
yang belakangan dinikahinya. Meski dosa telah dicatat
lipat ganda: wanita itu adalah ibu kandungnya
Si anjing tua adalah ayah kandungnya

Sang pria muda diam. Api damar padam. Malam jadi kelam…

Dia ingat kata Muhammad: Jangan kau terlalu membenci!
Siapa tahu, cinta kan pelan-pelan bersemi…

“Oh, Ibuku! Cintaku padamu polos tanpa nafsu
seperti putih air susu. Cerai kita mencair, terganti
pada bakti yang mungkin hanya sebesar biji sawi

Kau tahu, rinduku padanya membatu: haru-biru!
Biar kumakamkan jasad ayah
dengan tanganku…”

Yogyakarta, 10 April 2011

00.34

Di Sudut Perpustakaan Itu

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Di sudut perpustakaan itu

Pada secarik catatan, diam-diam

kutulis sajak buatmu.


Latar belakangku deretan rak

penuh buku-buku. Di sampingku

setumpuk antologi puisi:

yang liris, yang sureal,

yang biasa dibuat koar-koar

di atas mimbar.


Ah, pertemuan kita tak teramat naif

Lebih arif dari sekadar kencan buta

(pada suatu Sabtu, kau pinjami aku

sebuah buku. Dengan tinta

merahmuda, tertera di sudutnya:

cinta berawal dari pustaka…)


Di sudut lain, di sebelah rak

dengan tanda 895: Sastra Indonesia

Seseorang dengan mata pedih, berkata lirih:

“kembalilah ke dunia nyata, hai kau Penyair Muda!”


Tik-tok waktu tiba-tiba

henti membatu

Sial! Hilang kemana

kertas catatanku?


Yogyakarta, 24 Maret 2011

04.06

Aku, Kamu, dan Foto Yang Kau Sobek Separuh Itu

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |


Aku tak mendapat cukup info soal siapa pria yang sefoto denganmu itu. Lantas alasan apa yang membuatku harus cemburu padamu, Sayangku?

Yogyakarta, 7 Maret 2011.
Foto adalah potongan adegan dalam film "Breathless" [Jean-Luc Godard, 1960]

11.09

Dan Kematian Makin Akrab

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti—mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga:—Matiku muda—
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktu
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekap pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jamlarut
daun ketapang makin lebat berguguran
diluar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan
berkelakar
yang mengajak
tertawa—itu bahasa
semesta yang dimengerti
Berhadapan muka,
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin.
—Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih,
juga angan-angan dan selera
keisengan—
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
—Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit—

(Subagio Sastrowardoyo, 1970)



08.59

Pagi Ini

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Di langit, arak-arakan awan ke utara
Lalu mendung diam-diam
menguntit dibelakangnya
(ah, hujan tinggal menunggu waktu
untuk ditaburkan!)

Di darat, keretaangin lalu-lalang.
Tergesa. Mungkin berlomba dengan
tik-tok jam: mengejar nasib yang sudah
sampai duluan di garis depan

Di kamar, lamat-lamat kudengar
seniman asing berlagu tentang kematian
yang gapyak itu. Katanya: “bencana
bisa diciptakan kapan saja!”

Di gunung itu, aku tak tahu
masihkah Sisifus setia mendorong batu?
Salahnya telah diganjar sebuah hukuman
Sesalnya dia bayar dengan pengulangan-pengulangan

Kata orang: hidup ini apokaliptik
Kata yang lain: sejarah belum sampai titik!

Dan katamu, Sayangku:
“Akan kubawa kau terbang
ke pantai yang sepi nan lapang.

Meski kita tahu, di atas cakrawala itu
berserakan batu, bilah kayu, pecahan botol, dan
gedung-gedung yang hitam terpanggang…”

Gampingan, 2 Maret 2011



03.14

Liberté

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

On my school notebooks
On my desk and on the trees
On the sands of snow
I write your name

On the pages I have read
On all the white pages
Stone, blood, paper or ash
I write your name

On the images of gold
On the weapons of the warriors
On the crown of the king
I write your name

On the jungle and the desert
On the nest and on the brier
On the echo of my childhood
I write your name

On all my scarves of blue
On the moist sunlit swamps
On the living lake of moonlight
I write your name

On the fields, on the horizon
On the birds’ wings
And on the mill of shadows
I write your name

On each whiff of daybreak
On the sea, on the boats
On the demented mountaintop
I write your name

On the froth of the cloud
On the sweat of the storm
On the dense rain and the flat
I write your name

On the flickering figures
On the bells of colors
On the natural truth
I write your name

On the high paths
On the deployed routes
On the crowd-thronged square
I write your name

On the lamp which is lit
On the lamp which isn’t
On my reunited thoughts
I write your name

On a fruit cut in two
Of my mirror and my chamber
On my bed, an empty shell
I write your name

On my dog, greathearted and greedy
On his pricked-up ears
On his blundering paws
I write your name

On the latch of my door
On those familiar objects
On the torrents of a good fire
I write your name

On the harmony of the flesh
On the faces of my friends
On each outstretched hand
I write your name

On the window of surprises
On a pair of expectant lips
In a state far deeper than silence
I write your name

On my crumbled hiding-places
On my sunken lighthouses
On my walls and my ennui
I write your name

On abstraction without desire
On naked solitude
On the marches of death
I write your name

And for the want of a word
I renew my life
For I was born to know you
To name you

Liberty.

(Paul Eluard, 1940)

01.43

Di Antara Gugur Cemara

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Di antara gugur cemara
dan cubit surya yang malu-malu
lamat-lamat kulihat wajahmu

Kaupungut satu yang jatuh di pasir:
kering, layu, ranggas
lalu kabur bersama muson barat

Ah, pertemuan selalu gegas
Meski salah satu kita datang terlambat

Senja telah beruluk salam, Abang...
Tapi tak jua kau antarkan aku pulang

Aku masih waras. Masih bisa
menulis sebait prosa, tentang ikal yang jatuh
perlahan di antara senyummu

Tentang anak-anak puisi
yang selalu mengusik tidurku itu?

Apa kita musti pulang sendiri-sendiri?
Kurasa begitu...

Aku mau naik pedati

Aku pilih jalan kaki

Yogyakarta, 14 Februari 2011

03.04

Oranye Malam Minggu

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Maaf ya kalau badanku bau…
Karena peluhku adalah anak-anak gerimis
yang ikut berlarian sepanjang sekian kilometer
kukayuh sepeda menuju rumah mungilmu itu

Apa peduliku, Ksatria?
Toh lelah badanku juga tak kalah bau…
Memasak kastangel keju sungguh menyita
detik-detikku untuk sekadar berdandan buatmu


Tapi duhai beruntungnya aku!
Karena sebelum pulang, kata pamit adalah
kecupku pada tetes mungil peluh di lembut keningmu

Sudah-sudah pulang sana!
Lekaslah mandi, ganti baju
lalu kenanglah aku…


Yogyakarta, 17 April 2010

15.00

Melihat Demokrasi dengan Kacamata The Shock Doctrine

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

The Shock Doctrine (2009) merupakan film dokumenter yang dibuat berdasarkan buku karangan Naomi Klien dengan judul yang sama. Di bawah arahan Mat Whitecross dan Michael Winterbottom, film ini berusaha menampilkan sebanyak dan sepadat mungkin informasi yang, tentu saja, digali lebih mendalam dan mendetail dalam buku aslinya. The Shock Doctrine (selanjutnya disingkat TSD, merujuk kepada buku maupun film) berusaha menjelaskan modus operasi ekonomi kapitalisme lanjut yang diterapkan oleh negara-negara adidaya seperti Amerika. Bahwa ternyata argumentasi “sistem kapitalisme akan mendorong kehidupan politik yang demokratis” atau sebaliknya “iklim politik yang demokratis memungkinkan sistem ekonomi kapitalis dapat hidup” tidak sepenuhnya benar. Dalam pengertian Karl Marx, yakni kapitalisme sebagai satu mode produksi, ternyata menyebar, berjalan, dan pada akhirnya meraup keuntungan dengan cara yang sangat brutal. Kapitalisme membutuhkan efek kejut agar dapat diterima sebagai satu-satunya sistem ekonomi dalam suatu konteks masyarakat. Atau lebih jelasnya, ketika masyarakat dilanda krisis tiba-tiba – baik yang given seperti bencana alam, atau yang designed seperti perang – maka semua orang akan berpikir tentang kepentingan pribadi mereka yang terusik. Di situlah pintu masuk kapitalisme: lewat bantuan pendidikan, rekonstruksi tempat tinggal, investasi, atau bahkan pada level yang lebih makro seperti perombakan sistem ekonomi nasional.

Beberapa contoh kasus coba ditampilkan guna menunjukkan betapa vulgarnya proses munculnya ‘kapitalisme bencana’ tersebut. Pemerintahan demokratis Salvador Allende dengan kebijakan-kebijakan ekonominya yang sosialis, harus runtuh oleh kudeta berdarah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet yang kemudian menjadi pintu masuk bagi sistem ekonomi kapitalis, dengan Milton Friedman dan The Chicago Boys sebagai punggawanya. Allende sendiri tewas mengenaskan dalam kudeta tersebut. Begitu juga saat terjadi Perang Irak, yang memaksa Saddam Husein harus rela mati di tiang gantungan dan membuka jalan bagi para kontraktor dan konsultan ekonomi untuk masuk dan “membuka lahan baru”, dengan dalih rekonstruksi fisik dan non-fisik pasca perang. Hal yang sama berlaku saat terjadi bencana tsunami yang melanda sebagian wilayah Sri Lanka, India, dan Sumatera. Naomi Klien sendiri pernah melakukan studi lapangan pasca-tsunami di Sri Lanka. Fakta mencengangkan dia temukan: tanah-tanah milik nelayan yang jadi korban tsunami dibeli oleh para investor dan dijadikan hotel berbintang. Secara psikologis, apalagi yang bisa diharapkan korban tsunami selain kucuran dana para investor di tengah desperate situation macam itu?

Dari kacamata TSD tersebut, kita dapat menyoal dan mengkritisi model demokrasi liberal yang selama ini diagung-agungkan dan disebarkan idenya oleh negara seperti Amerika. Ternyata demokrasi liberal tidaklah se-“demokratis” yang kita bayangkan. Penyebaran gagasan demokrasi liberal justru dilakukan dengan cara yang brutal, keras, dan memakan korban. Bila Amerika memandang pemerintahan Saddam Husein di Irak sebagai sebuah kediktatoran yang kejam, dan untuk itu perlu untuk didemokratiskan, sebenarnya sungguh kontradiktif karena Amerika memulainya dengan perang yang jelas berpotensi merusak. Penyebaran gagasan demokrasi liberal, laiknya sistem ekonomi kapitalis, juga memerlukan shock therapy, agar si pasien terapi (dalam kasus ini: korban perang) menjadi gamang dengan apa yang sedang terjadi dan pada akhirnya siap menelan mentah-mentah ideologi apa yang sedang disuntikkan kepada mereka. Rakyat Irak sebagai korban perang, terutama yang pro-Saddam, mungkin terbersit juga di benak mereka untuk resisten terhadap kebijakan Amerika. Tetapi mereka tidak tahu harus melawan dengan cara apa. Itulah yang disebut Naomi Klien sebagai kondisi shocked/ terkejut.

Mungkin bisa pula kita katakan demokrasi liberal dan sistem kapitalisme – meski hubungan keduanya seringkali ambivalen – adalah satu paket: artinya, bisa disebarkan baik dengan cara yang paling bersahabat atau dengan cara yang paling violent seperti yang digambarkan secara jeli dalam TSD. Bukti konkretnya, ketika perang Irak berlangsung hingga Juli 2007, tercatat lebih banyak jumlah kontraktor daripada tentara Amerika yang datang ke Irak, tentu sebagai pemain dalam ‘lahan basah’ di daerah pascaperang itu. Atau mungkin saja, dengan cara pandang yang sedikit ‘nakal’, demokrasi liberal hanya sekadar komoditi dari sistem ekonomi kapitalis lanjut. Mengapa? Karena dia hanya digunakan sebagai dalih saja, yakni proses demokratisasi di negara yang selama bertahun-tahun tunduk di bawah rezim diktator. Toh, masa rekonstruksi pascaperang justru menjadi lahan baru bagi perusahaan-perusahaan besar, tanpa pernah berpikir tentang praktik kekerasan yang menghantarkan mereka sehingga dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Yogyakarta, 2 Januari 2011

15.40

Pohon Mangga

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Pohon mangga paruh baya
tumbuh teduh di depan rumahmu
di antara pot-pot kecil, kawan-kawannya
waktu masih benih dulu:

__________mawar, pandan, kamboja,
__________talas, suji, juga rumput teki

Dia selalu setia jadi yang ketiga

kala kita asyik duduk berdua
mengobrolkan apa saja: lalu tanpa sadar

__________kita pungut daunnya yang lurut
__________kita sobeki tanpa arti
__________(gagap dan gugup berlomba kita tutupi)

Kubayangkan saat musim petiknya tiba
kita kecap manis buahnya berdua
dan dia pun bergoyang di atas kita bersama udara
Masih saja setia menjadi yang ketiga,

__________yang keempat bulir embun di bibir daunnya
__________yang kelima seekor gereja yang numpang hidup
__________bersama bayi-bayinya

Tapi sore itu ada yang salah
dari halaman rumahmu

Pohon mangga paruh baya sudah tak ada!
Seseorang telah memaksa sang akar bersabar
__________mengasuh calon tunasnya
__________agar kelak jadi entah yang ke berapa
__________meneduhi gelak tawa anak-anak kita

Yogyakarta, 18 Oktober 2010




Subscribe