- buat Bapak
Sore itu orang-orang sekampung
nimbrung, bergunjing tentang seorang wanita.
Tangisnya miris, meratapi yang mati:
anjing kesayangannya
Kabarnya, seorang pria muda nan perkasa
(yang belakangan jadi suami barunya)
telah menggorok si anjing tua. Bengis, bak mengusap najis
tanpa kata, tanpa aba-aba, tanpa dosa…
Tubuh gelepar, urat-urat getar, darah tebar!
Leher putus, pertanda hitung mundur menuju mampus
Anyir bau darah yang percik pada terompah
Menuntun si anjing pikun pada maut
yang, barang sekali saja, tak pernah luput
Kata mereka, sesaat saja mata sang wanita pelan-pelan berkaca-kaca.
Karena tak kan dia dengar lagi gonggong yang sumbang
pada tiap senja jingga, menjemput malam ungu datang
(atau jilatan mesra, saat malam berlabuh pada semilir subuh)
Tak kan dia salahkan si pria muda nan perkasa
yang belakangan dinikahinya. Meski dosa telah dicatat
lipat ganda: wanita itu adalah ibu kandungnya
Si anjing tua adalah ayah kandungnya
Sang pria muda diam. Api damar padam. Malam jadi kelam…
Dia ingat kata Muhammad: Jangan kau terlalu membenci!
Siapa tahu, cinta kan pelan-pelan bersemi…
“Oh, Ibuku! Cintaku padamu polos tanpa nafsu
seperti putih air susu. Cerai kita mencair, terganti
pada bakti yang mungkin hanya sebesar biji sawi
Kau tahu, rinduku padanya membatu: haru-biru!
Biar kumakamkan jasad ayah
dengan tanganku…”
Yogyakarta, 10 April 2011
2 komentar:
sangkuriang?
kurang lebih begitu Bung... karena saya tak terlalu paham soal mitos Oedipus, ya sudah yang lokal-lokal sajalah! :)
Posting Komentar