"Aku takut - atau sekadar gamang - menatap masa depan yang belakangan tak lagi gamblang...", katamu. Lalu pelan-pelan ujung telunjukmu mendarat di manset kemejaku. Tahun menggugur daun, penghujan padam, kemarau bersih pada bunga-bunga tembakau. Kamu tetap seperti yang dulu: dahaga pada kata, dendam pada gumam, rindu pada abu-abu yang dibekukan waktu. Apa daya: aku juga sepertinya sama saja. Berdamai dengan masa lalu jelas tak mungkin, meski perahu jauh mengarung lautan yang dingin (di belakangku, dermaga telah hangus bersama humus). Yang setara tak selamanya menyenangkan, karena pada trauma aku tak ingin diingatkan...
Yogyakarta, 10 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar