Mirzmade

ikhtiar memelihara klangenan bernama aksara

15.00

Melihat Demokrasi dengan Kacamata The Shock Doctrine

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

The Shock Doctrine (2009) merupakan film dokumenter yang dibuat berdasarkan buku karangan Naomi Klien dengan judul yang sama. Di bawah arahan Mat Whitecross dan Michael Winterbottom, film ini berusaha menampilkan sebanyak dan sepadat mungkin informasi yang, tentu saja, digali lebih mendalam dan mendetail dalam buku aslinya. The Shock Doctrine (selanjutnya disingkat TSD, merujuk kepada buku maupun film) berusaha menjelaskan modus operasi ekonomi kapitalisme lanjut yang diterapkan oleh negara-negara adidaya seperti Amerika. Bahwa ternyata argumentasi “sistem kapitalisme akan mendorong kehidupan politik yang demokratis” atau sebaliknya “iklim politik yang demokratis memungkinkan sistem ekonomi kapitalis dapat hidup” tidak sepenuhnya benar. Dalam pengertian Karl Marx, yakni kapitalisme sebagai satu mode produksi, ternyata menyebar, berjalan, dan pada akhirnya meraup keuntungan dengan cara yang sangat brutal. Kapitalisme membutuhkan efek kejut agar dapat diterima sebagai satu-satunya sistem ekonomi dalam suatu konteks masyarakat. Atau lebih jelasnya, ketika masyarakat dilanda krisis tiba-tiba – baik yang given seperti bencana alam, atau yang designed seperti perang – maka semua orang akan berpikir tentang kepentingan pribadi mereka yang terusik. Di situlah pintu masuk kapitalisme: lewat bantuan pendidikan, rekonstruksi tempat tinggal, investasi, atau bahkan pada level yang lebih makro seperti perombakan sistem ekonomi nasional.

Beberapa contoh kasus coba ditampilkan guna menunjukkan betapa vulgarnya proses munculnya ‘kapitalisme bencana’ tersebut. Pemerintahan demokratis Salvador Allende dengan kebijakan-kebijakan ekonominya yang sosialis, harus runtuh oleh kudeta berdarah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet yang kemudian menjadi pintu masuk bagi sistem ekonomi kapitalis, dengan Milton Friedman dan The Chicago Boys sebagai punggawanya. Allende sendiri tewas mengenaskan dalam kudeta tersebut. Begitu juga saat terjadi Perang Irak, yang memaksa Saddam Husein harus rela mati di tiang gantungan dan membuka jalan bagi para kontraktor dan konsultan ekonomi untuk masuk dan “membuka lahan baru”, dengan dalih rekonstruksi fisik dan non-fisik pasca perang. Hal yang sama berlaku saat terjadi bencana tsunami yang melanda sebagian wilayah Sri Lanka, India, dan Sumatera. Naomi Klien sendiri pernah melakukan studi lapangan pasca-tsunami di Sri Lanka. Fakta mencengangkan dia temukan: tanah-tanah milik nelayan yang jadi korban tsunami dibeli oleh para investor dan dijadikan hotel berbintang. Secara psikologis, apalagi yang bisa diharapkan korban tsunami selain kucuran dana para investor di tengah desperate situation macam itu?

Dari kacamata TSD tersebut, kita dapat menyoal dan mengkritisi model demokrasi liberal yang selama ini diagung-agungkan dan disebarkan idenya oleh negara seperti Amerika. Ternyata demokrasi liberal tidaklah se-“demokratis” yang kita bayangkan. Penyebaran gagasan demokrasi liberal justru dilakukan dengan cara yang brutal, keras, dan memakan korban. Bila Amerika memandang pemerintahan Saddam Husein di Irak sebagai sebuah kediktatoran yang kejam, dan untuk itu perlu untuk didemokratiskan, sebenarnya sungguh kontradiktif karena Amerika memulainya dengan perang yang jelas berpotensi merusak. Penyebaran gagasan demokrasi liberal, laiknya sistem ekonomi kapitalis, juga memerlukan shock therapy, agar si pasien terapi (dalam kasus ini: korban perang) menjadi gamang dengan apa yang sedang terjadi dan pada akhirnya siap menelan mentah-mentah ideologi apa yang sedang disuntikkan kepada mereka. Rakyat Irak sebagai korban perang, terutama yang pro-Saddam, mungkin terbersit juga di benak mereka untuk resisten terhadap kebijakan Amerika. Tetapi mereka tidak tahu harus melawan dengan cara apa. Itulah yang disebut Naomi Klien sebagai kondisi shocked/ terkejut.

Mungkin bisa pula kita katakan demokrasi liberal dan sistem kapitalisme – meski hubungan keduanya seringkali ambivalen – adalah satu paket: artinya, bisa disebarkan baik dengan cara yang paling bersahabat atau dengan cara yang paling violent seperti yang digambarkan secara jeli dalam TSD. Bukti konkretnya, ketika perang Irak berlangsung hingga Juli 2007, tercatat lebih banyak jumlah kontraktor daripada tentara Amerika yang datang ke Irak, tentu sebagai pemain dalam ‘lahan basah’ di daerah pascaperang itu. Atau mungkin saja, dengan cara pandang yang sedikit ‘nakal’, demokrasi liberal hanya sekadar komoditi dari sistem ekonomi kapitalis lanjut. Mengapa? Karena dia hanya digunakan sebagai dalih saja, yakni proses demokratisasi di negara yang selama bertahun-tahun tunduk di bawah rezim diktator. Toh, masa rekonstruksi pascaperang justru menjadi lahan baru bagi perusahaan-perusahaan besar, tanpa pernah berpikir tentang praktik kekerasan yang menghantarkan mereka sehingga dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Yogyakarta, 2 Januari 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe