Mirzmade

ikhtiar memelihara klangenan bernama aksara

22.11

Kalingan, Kelangan, Kelingan

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Pernahkah Anda kehilangan teman?

Saya punya sahabat kecil semasa duduk di bangku SD. Selama enam tahun lebih kami berteman. Hari-hari kami warnai dengan hal-hal penghabis waktu luang, yang biasa dilakukan anak kecil pada umumnya: bermain di sawah, bersepeda keliling desa, dan kejar-kejaran saat jam istirahat di sekolah. Semua berjalan menyenangkan dan begitu bersahabat (usut punya usut, ternyata kedua ibu kami pernah bertemu dan saling mengobrol di rumah sakit semasa kami bayi, saat memberi imunisasi kepada kami). Akhirnya, pertemanan kami berakhir pada awal semester kedua kelas satu SMP di mana kami sama-sama bersekolah. Dia meninggal dunia akibat penyakit usus buntu dan infeksi virus aneh yang membuatnya lumpuh hampir seminggu. Saat mendengar kabar itu, saya tak bisa menangis. HHHHHHHnsdjdjHjskdari kedua kematiannya saya datang melayat, dan saat itu juga saya tersadar: saya telah kehilangan seorang teman, yang takkan pernah dapat saya temui lagi untuk selama-lamanya.

Dari nostalgia di atas, coba saya tarik satu simpulan. Kehilangan, menuntut satu aspek ketidakhadiran (absent) di dalamnya, entah itu ketidakhadiran apa atau siapa. Meski peristiwa di atas sebenarnya sangatlah kasuistik: saya sadar dia absen secara fisik, oleh karenanya dia pun (menjadi) absen dalam rentang waktu keseharian hidup saya. Memori tentang dia dan tentang kebersamaan kami berdua perlahan-lahan luntur dari daftar panjang ingatan di otak saya. Hubungan sebab-akibat itu bagi saya sangatlah masuk akal. Toh kita pun akan menulisi kembali bekas tulisan yang sudah kita hapus di atas kertas; perlahan-lahan menutupinya dengan memori tentang atau dengan hal lain. Di sini keabsenan selalu berujung pelupaan. Itulah kehilangan.

Tapi bagaimana jika kondisinya kita balik: kita (merasa) kehilangan seseorang meski secara fisik dia hadir dalam penglihatan maupun memori kita? Kehilangan di sini tidak lagi menuntut keabsenan fisik. Bahkan hal itu tak lagi dipedulikan. Ritual tatap muka tetap ada, obrolan-obrolan tetap terlontar, dan proyeksi kita akan kehadirannya besok pagi tetap berlangsung. Tapi kita kehilangan dia secara makna: makna kehadiran, makna obrolan, makna bayangan wajahnya di hari depan. Semuanya seolah menjadi membosankan, repetitif, dan banal. Atau bahkan lebih dari itu: kita kehilangan image dia yang dulu kita kenal. Image yang membuat kita akhirnya memutuskan secara mantap, “baik, kau kini temanku!” Saya tak tahu, apakah image tersebut hanya sekadar citra atau bahasa tubuh yang membuat kita pada awalnya nyaman bersamanya, atau bahkan satu standar makna – seperti terungkap di atas – yang dengan tidak langsung kita nobatkan secara penuh kepadanya. Dan image itu perlahan-lahan luntur dari memori kita. Bagaikan foto lawas yang pelan-pelan memburam diterpa udara dimakan usia, membuat sosok dalam foto itu jadi jelek dan kabur. Karena setiap kita mengamini: manusia tidak selalu siap dengan perubahan.

Kehilangan macam ini, bagi saya lebih menakutkan dari yang pertama saya ungkap. Bayangkan saja, bagaimana ketika Anda terpaksa perlahan me-‘lupa’-kan seseorang namun terhalang oleh sosoknya yang hadir dan hidup dalam keseharian serta rutinitas Anda? Karena kitapun tak juga digdaya untuk benar-benar meninggalkan, atau sebaliknya, mengusirnya secara fisik dari kehidupan kita. Resiko-resiko lain yang akan muncul terlalu besar. Namun secara personal kita tetap merasa sendiri, seperti sedang selamanya ditinggal pergi. Meski sesekali kitapun kangen akan sosok idealnya buat kita. Ketika mengalami kondisi macam itu, jujur saja, saya cuma bisa meringis menahan tangis.

Sekarang, saya sedang meringis menahan tangis...

Di Sintesa, 17 Desember 2009

03.14

Apa Yang Salah Dengan Cinta?

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Apa yang salah dengan cinta?

Sebuah perkenalan pada suatu sore yang sejuk, menautkan dua wajah dalam satu wadah. Dari setitik ketidaktahuan bergulir dan menggelinding perlahan menjelma segumpal pemahaman. Jabat tangan selalu berhasil mengusir kesusahan. Adalah sebentuk kecintaan, yang lalu menjadikannya sekadar waktu luang atau bahkan sebesar-besar pengorbanan.

Apa yang salah dengan cinta?

Seutas benang waktu mengubah cara pandang masing-masing anak manusia.
"Siapa kau sebenarnya?", desah suara dalam sukma yang bertanya-tanya. Kebingungan yang membikin kejangkitan, menikmatinya perlahan-lahan seperti seruput kopi pekat di tengah malam dingin laknat. Aku yang kaget hampir mati, ketika sontak kau pegang saja tangan ini. Ah... sesederhana itu rasa cinta datang, tanpa pernah lebih dulu beruluk salam. Kejangkitan kebingungan, kejangkitan kebingungan!

Apa yang salah dengan cinta?

Lalu perlahan satu-dua-tiga pertanyaan muncul ke permukaan. Menantang nalar menjadi belati, menantang hati menjadi akar. Benarkah aku mencintaimu, benarkah begitu? Benarkah kau mencintaiku, akankah selalu? Kita melangkah gontai pada seutas tali yang bisa putus kapan saja. Terbata-bata mendoa, atau bertanya pada diri yang mengada. Dan lalu masing-masing kita kembali bertanya,
"siapa kau sebenarnya?"

Apa yang salah dengan cinta?

Mendung kelabu pekat perlahan memuramkan indah senja di hatimu yang jingga. Mata inipun tak kalah pedihnya menahan hembus udara, yang lalu-lalang menghunus pedang. Tatap muka yang kerap melahirkan cakap-ucap lucu, kini menjadi langka dalam narasi panjang berdua. Narasi yang sebenarnya belum pula usai ditulis jadi skenario agung sarat rahasia. Tapi kenapa pelan-pelan pensil itu patah kita gigiti? Bisanya hanya menggerutu saja, sambil kesakitan menahan deru rindu yang takluk dibungkam benci nan pasi.

Apa yang salah dengan cinta?

Adakah yang salah dengan cinta, Cinta? Kita tampik saja adanya, tanpa pernah mau tahu jasanya. Jasanya menyatukan beda, mengusir duka, menyepuh luka, melukis tawa, mengendap makna, menuai asa... ya? Ciuman mesra itu, jujur saja, selalu membuatku rindu. Jugakah kau? Lagi-lagi langkah kaki harus merantau sendiri-sendiri. Dan pedati teronggok kosong hampir longsor ke sungai.

Apa yang salah dengan cinta?

Kita cuma bisa bertanya


Yogyakarta, 13 November 2009

23.21

Duka Dalam Anak Alam

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Untuk kesekian kali aku tatapi. Malam ini wajah-wajah ditundukkan. Orang-orang yang tidak maupun saling kenal berkumpul dalam temaram cahaya di selasar itu, menunggu kabar yang selalu saja lalu-lalang berseliweran. Sekejap saja hening menyelimuti, memenggal obrolan yang sesaat mengisi ruang hampa kebisuan. Dipenggal putus oleh warta duka dari jalin-kelindan kabut Mahameru. Duka atas perginya sang anak alam, yang juga adalah kawan, sahabat, adik, keluarga, atau bahkan kekasih tercinta.

Mungkin di lain tempat di luar sana, sanak saudara berkumpul di sebuah rumah mungil, juga sedang meratapi warta duka yang baru saja menyapa. Puja-puji dilafalkan, ayat-ayat dibacakan, uba-rampe disiapkan, jampi-sesaji dihidangkan. Ikut menghantar pulangnya buah hati semata wayang, menyusul ayah yang lebih dulu pamit pergi.

Aku pun tiba-tiba turut bisu. Meratapi duka yang masih saja merajai hati setiap mereka yang hadir menanya kabar, meski tanpa tahta dan mahkota. Jujur saja, dia sang anak alam selalu anonim bagiku. Meski begitu, kami hidup di bawah atap yang sama. Sama-sama anak kemarin sore yang sedang belajar hidup tanpa botol susu. Mencoba memecah kebisuan nalar dan kebekuan kalbu, lewat sepenggal eksistensi. Sekelumit dialektika sarat makna tanpa koma. Dan lalu sebuah kepastian datang, yang sontak mementahkan harapan sekaligus merobohkan kecemasan. Kepastian yang selalu saja membuat kita menundukkan kepala.

Dan untuk kesekian kali aku tatapi: al-maut kembali menjemput para ciptaan yang bisu nan kaku. Menggotong mereka berkelana, untuk selanjutnya menetap entah sampai kapan di seberang sana. Setiap yang hidup pasti mati, kata firman. Lalu bagi yang ditinggal mati cuma punya satu kewajiban, yang terkadang kurasa terlalu usang untuk didengungkan, tapi selalu saja berjasa melipur kesedihan: sabar. Ya, cuma itu kewajiban buat mereka yang bersepi ditinggal pergi, mereka keluarga dan kawan-kawan seperjuangan. Dan bagiku juga yang tak mengenalnya. Yang baru kenal setelah dia berpamitan.

Kali ini, baginya waktu telah menjelma sebuah tanda titik. Sebuah kalimat penutup yang melerai segala rumitan dalam narasi panjang cerita hidupnya. Cerita perjuangannya mendobrak tapal batas kebungkaman. Namun bagi kita, waktu masih saja berhasil menghentikan ludah untuk ditelan kerongkongan. Karena tetap saja, mentari esok pagi atau hujan semester depan adalah sebuah tanda tanya.

Yogyakarta, 3 Agustus 2009

[jejalin aksara sebagai karangan bunga belasungkawa, menghantar kepergian Andika Listiono Putro, mahasiswa Administrasi Negara angkatan 2008, sekaligus aktivis Keluarga Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup Setrajana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada]


10.20

Rocker (Memang Selamanya) Juga Manusia

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Topik ini mungkin sebenarnya terlalu spesifik jika mau saya gebyah-uyah-kan pada semua musisi yang basis genre-nya adalah rock, atau jenis musik lain yang berbau cadas nan keras. Karena realitanya masih banyak grup musik di seantero jagad raya yang musik dan liriknya tak tanggung-tanggung beringasnya. Sampai-sampai selalu kita dapati label yang menempel pada cover album mereka: PARENTAL ADVISORY, EXPLICIT CONTENT. Entah tujuan pemasangan label itu sebenarnya apa, atau maksud saya, pemaknaan apa yang sebenarnya diinginkan oleh si badan sensor musik dengan membubuhkan kata explicit pada label peringatan tersebut. Jujur bagi saya ini membingungkan. Seolah ada bahaya laten yang mengancam, terutama, generasi muda penikmat musik. Meski sebenarnya saya tak terlalu paham, macam mana pula selera musik anak muda jaman sekarang yang dibilang gaul itu. Apakah musik dengan warning-label di atas masih 'payu' di telinga mereka, saya tak tahu.

Terlepas dari masalah itu, sebenarnya saya ingin membicarakan hal lain, tentu masih dalam koridor musik. Seperti disingung sepintas di atas, ketika mendengar kata 'rock' pasti konstruk yang terbangun pada nalar kita adalah jenis musik yang keras, cadas, beringas, sound-sound yang distortif, lirik tentang hidup yang bebas wal ugal-ugalan, dan sebagainya. Dan citra itu begitu melekat pada musik rock. Tapi belakangan saya sedikit terpantik untuk berpikir hal lain. Dari dulu, meski rock sangat lekat dengan citra di atas, namun ada tema khusus yang selalu saja menyelinap keluar di tengah hiruk pikuk cadasnya tema musik rock: cinta.

Saya jadi bertanya-tanya. Bila kehidupan rocker identik dengan tema cadas yang selalu hadir dalam musik mereka, lalu kenapa mereka selalu menyisakan tempat untuk tema cinta, yang notabene berseberangan 180 derajat dengan tema umum yang selalu mereka usung? Jangan-jangan kehidupan para rocker (bila diproyeksikan dari lagu cinta bikinan mereka) tidak se-'rocker' yang kita bayangkan?

Sedikit review, belakangan saya sedang gemar mendengarkan album solo-nya gitaris rock Richie Kotzen. Historisnya, dia pernah bergabung dengan grup rock Poison. Bisa kita bayangkan bagaimana musikalitas yang dulu dia tampilkan. Pernah juga memperkuat Mr. Big. Yah, walaupun grup yang satu ini juga kerap nyerempet tema-tema cinta. Namun setelah bersolo karir hingga sekarang, nuansa rock yang cadas tetap berandil besar dalam nomor-nomor lagunya. Tapi setelah saya amati (baca: dengarkan), tema cinta selalu muncul di antara sekian track dalam satu album besutannya. Dan kupikir kontras sekali dalam hal pemilihan sound maupun diksi lirik-liriknya. Ketika sedang 'cadas', ya sudah, bisa kita dengarkan geber suara distortif dari gitarnya. Namun bila sedang 'fall in love', maka akan kita dapati lirik-lirik romantis, sound yang manis, dan rentetan melodi yang di kuping selalu isis.

Terbukti (dari kasus Kotzen), mereka para rocker berambut gondrong bertampang garang itu tetap bisa 'romantis' dalam bermusik. Ya... meski omongan ini coba saya lepaskan dari kontradisksi: apakah mereka cuma cari duit dengan menulis lagu cinta yang laku di pasar, atau justru lagu itu muncul dari lubuk hati mereka terdalam sebagai ekspresi berkesenian mereka. Bila musik selalu dianggap sebagai bahasa yang paling universal dalam kehidupan manusia, maka lebih khusus lagi, saya pikir (dan masih relevan sampai sekarang) tema cinta juga selalu hadir menjadi 'bahasa universal' dalam musik. Toh masih tetap ada ukuran estetis di sana. Dan rocker pun mempertimbangkan hal tersebut. Dengan akhiran -er pada sebutan itu, yang menunjukkan bahwa
mereka selamanya memang manusia. Manusia yang mengerti estetika, yang mengerti cinta. []

22.42

Hari Ini, Optimisme, dan Perfeksionis

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Masih berada dalam minggu-minggu terakhir liburan semester. Dan hampir semua hari liburan itu terisi dengan bersantai di rumah. Dasarnya sedang sakit. Lebih dari seminggu saya terserang flu, dan memang tidak begitu mood untuk pergi kemana-mana. Namun hari ini sedikit berbeda buat saya. Seorang teman pernah meng-update status Facebook-nya, bahwa dia merasa lebih tidak 'ngantukan' ketika hari-harinya diisi dengan aktivitas (entah fisik atau apapun itu). Mungkin kali ini saya mengamini hal itu.

Pagi tadi terpaksa harus berolahraga, menuntun sepeda motor dari kawasan Giwangan hingga Golo karena ban belakang yang bocor setelah mengantar si bungsu ke sekolah (saya jadi ingat satu fragmen dialog pada salah satu nomor dagelan pelawak Basiyo, yang menceritakan seorang penabuh gong sebuah kelompok karawitan yang pulang dengan diantar sepeda onthel yang kempes ban-nya, yang menimbulkan suara: "klothok... klothok... klothok..."). Saya tak menyia-nyiakan momen menunggu proses penambalan - atau lebih tepatnya penggantian ban itu. Kebetulan saya membawa kamera DSLR milik sepupu. Kontan sudah: jeprat-jepret di sana-sini bak fotografer kawakan majalah Exposure. Sesampainya di rumah, membantu ibu menggotong bongkokan daun randu untuk pakan keempat kambing peliharaan saya. Keringat bercucuran. Tapi setelah itu badan terasa segar, dan juga lebih tidak 'ngantukan'.

Tengah hari pergi ke kampus untuk rapat redaksi bersama kawan-kawan Sintesa. Yang dibahas: rencana pembuatan buletin edisi spesial mahasiswa baru (maba). Sedianya akan dibuat semacam leaflet (kami biasa menyebutnya Silet, kependekan dari Sintesa Leaflet). Namun ada usul - lebih tepatnya tantangan - untuk membuat buletin spesial maba ini dalam bentuk Indikator (buletin terbitan utama Sintesa). Usulpun ditanggapi dengan positif, dengan segala macam konsekuensi yang musti ditanggung, seperti deadline tanggal dan sebagainya. Sayapun merasa tertantang. Muncul semacam optimisme (dalam diri saya, dan mungkin dalam diri kawan-kawan yang lain) bahwa Indikator kali ini bisa dikawal dengan baik proses pembuatan hingga penerbitannya. Hal itu membuat saya menjadi lebih bersemangat. Terima kasih kawan!

Ganti topik: sedari tadi saya tongkrongi saja PC ini. Mencoba meng-othak-athik-gathuk-an tampilan blog baru. Searching tema tampilan dan edit isi di sana-sini ternyata cukup memakan waktu. Satu tema saya tetapkan dan berhasil saya edit sedikit tampilannya. Mungkin berulang kali saya bilang ke teman-teman: eksistensi mendahului esensi. Entah, tampilan fisik blog termasuk hal yang eksistensial atau esensial, saya masih menerka dan mereka. Namun jujur saja, dalam hal ini saya sedikit perfeksionis. Toh saya juga menjadi lebih nafsu menulis, ketika tampilan (fisik) akhirnya baik. Tak apalah.

Musik modern blues (jujur saya bingung harus menyebut genre ini apa) besutan Richie Kotzen masih saja mengalun dengan beat yang naik-turun di masing-masing nomornya. Malam pun makin larut. Dan saya pikir masih banyak nantinya yang harus saya tuangkan di sini. Meski jika malam begini, saya selalu saja malas mandi. []

11.33

Satu Salam Kenal

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Saya memang baru di sini. Tapi sebenarnya saya sangat (atau pernah) akrab dengan dunia blog-blogan. Paling tidak ini wujud kecintaan - atau mungkin PDKT - saya terhadap dunia tulis menulis. Satu yang pasti, supaya budaya literasi pada diri saya tidak usang, tidak berhenti sampai di sini. Dan rasa cinta itu akan terus saja dipupuk supaya tetap subur dan menjamur.

"Apalah arti sebuah nama", kata Shakespeare. Ya, mungkin nama blog ini tidak bemakna apa-apa. Tapi biarlah kata-kata di bawahnya yang akan bicara tentang makna-makna. Tentang samudera tak bertepi, karena ujungnya selalu saja koma, titik dua, atau tanda tanya.

Bagi Anda para pembaca, saya ucapkan salam kenal. Semoga mukadimah ini bisa menjadi sebuah
appetizer hangat yang menggugah selera saya dan juga Anda untuk selalu tertarik menikmati lezatnya dunia aksara. Selamat membaca! []

Subscribe