Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti—mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga:—Matiku muda—
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktu
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekap pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jamlarut
daun ketapang makin lebat berguguran
diluar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan
berkelakar
yang mengajak
tertawa—itu bahasa
semesta yang dimengerti
Berhadapan muka,
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin.
—Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih,
juga angan-angan dan selera
keisengan—
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
—Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit—
(Subagio Sastrowardoyo, 1970)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tentang Saya
- Damar Nugrahono Sosodoro
- Yogyakarta, DIY, Indonesia
- Tarung batin antara apollonian dan dionysian, meski tidak pernah memenangkan siapa-siapa. Senang berkenalan dengan Anda!
0 komentar:
Posting Komentar