Mirzmade

ikhtiar memelihara klangenan bernama aksara

00.34

Di Sudut Perpustakaan Itu

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Di sudut perpustakaan itu

Pada secarik catatan, diam-diam

kutulis sajak buatmu.


Latar belakangku deretan rak

penuh buku-buku. Di sampingku

setumpuk antologi puisi:

yang liris, yang sureal,

yang biasa dibuat koar-koar

di atas mimbar.


Ah, pertemuan kita tak teramat naif

Lebih arif dari sekadar kencan buta

(pada suatu Sabtu, kau pinjami aku

sebuah buku. Dengan tinta

merahmuda, tertera di sudutnya:

cinta berawal dari pustaka…)


Di sudut lain, di sebelah rak

dengan tanda 895: Sastra Indonesia

Seseorang dengan mata pedih, berkata lirih:

“kembalilah ke dunia nyata, hai kau Penyair Muda!”


Tik-tok waktu tiba-tiba

henti membatu

Sial! Hilang kemana

kertas catatanku?


Yogyakarta, 24 Maret 2011

04.06

Aku, Kamu, dan Foto Yang Kau Sobek Separuh Itu

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |


Aku tak mendapat cukup info soal siapa pria yang sefoto denganmu itu. Lantas alasan apa yang membuatku harus cemburu padamu, Sayangku?

Yogyakarta, 7 Maret 2011.
Foto adalah potongan adegan dalam film "Breathless" [Jean-Luc Godard, 1960]

11.09

Dan Kematian Makin Akrab

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti—mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga:—Matiku muda—
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktu
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekap pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jamlarut
daun ketapang makin lebat berguguran
diluar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan
berkelakar
yang mengajak
tertawa—itu bahasa
semesta yang dimengerti
Berhadapan muka,
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin.
—Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih,
juga angan-angan dan selera
keisengan—
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
—Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit—

(Subagio Sastrowardoyo, 1970)



08.59

Pagi Ini

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Di langit, arak-arakan awan ke utara
Lalu mendung diam-diam
menguntit dibelakangnya
(ah, hujan tinggal menunggu waktu
untuk ditaburkan!)

Di darat, keretaangin lalu-lalang.
Tergesa. Mungkin berlomba dengan
tik-tok jam: mengejar nasib yang sudah
sampai duluan di garis depan

Di kamar, lamat-lamat kudengar
seniman asing berlagu tentang kematian
yang gapyak itu. Katanya: “bencana
bisa diciptakan kapan saja!”

Di gunung itu, aku tak tahu
masihkah Sisifus setia mendorong batu?
Salahnya telah diganjar sebuah hukuman
Sesalnya dia bayar dengan pengulangan-pengulangan

Kata orang: hidup ini apokaliptik
Kata yang lain: sejarah belum sampai titik!

Dan katamu, Sayangku:
“Akan kubawa kau terbang
ke pantai yang sepi nan lapang.

Meski kita tahu, di atas cakrawala itu
berserakan batu, bilah kayu, pecahan botol, dan
gedung-gedung yang hitam terpanggang…”

Gampingan, 2 Maret 2011



Subscribe