Sore itu orang-orang sekampung
nimbrung, bergunjing tentang seorang wanita.
Tangisnya miris, meratapi yang mati:
anjing kesayangannya
Kabarnya, seorang pria muda nan perkasa
(yang belakangan jadi suami barunya)
telah menggorok si anjing tua. Bengis, bak mengusap najis
tanpa kata, tanpa aba-aba, tanpa dosa…
Tubuh gelepar, urat-urat getar, darah tebar!
Leher putus, pertanda hitung mundur menuju mampus
Anyir bau darah yang percik pada terompah
Menuntun si anjing pikun pada maut
yang, barang sekali saja, tak pernah luput
Kata mereka, sesaat saja mata sang wanita pelan-pelan berkaca-kaca.
Karena tak kan dia dengar lagi gonggong yang sumbang
pada tiap senja jingga, menjemput malam ungu datang
(atau jilatan mesra, saat malam berlabuh pada semilir subuh)
Tak kan dia salahkan si pria muda nan perkasa
yang belakangan dinikahinya. Meski dosa telah dicatat
lipat ganda: wanita itu adalah ibu kandungnya
Si anjing tua adalah ayah kandungnya
Sang pria muda diam. Api damar padam. Malam jadi kelam…
Dia ingat kata Muhammad: Jangan kau terlalu membenci!
Siapa tahu, cinta kan pelan-pelan bersemi…
“Oh, Ibuku! Cintaku padamu polos tanpa nafsu
seperti putih air susu. Cerai kita mencair, terganti
pada bakti yang mungkin hanya sebesar biji sawi
Kau tahu, rinduku padanya membatu: haru-biru!
Biar kumakamkan jasad ayah
dengan tanganku…”
Di sudut perpustakaan itu
Pada secarik catatan, diam-diam
kutulis sajak buatmu.
Latar belakangku deretan rak
penuh buku-buku. Di sampingku
setumpuk antologi puisi:
yang liris, yang sureal,
yang biasa dibuat koar-koar
di atas mimbar.
Ah, pertemuan kita tak teramat naif
Lebih arif dari sekadar kencan buta
(pada suatu Sabtu, kau pinjami aku
sebuah buku. Dengan tinta
merahmuda, tertera di sudutnya:
cinta berawal dari pustaka…)
Di sudut lain, di sebelah rak
dengan tanda 895: Sastra Indonesia
Seseorang dengan mata pedih, berkata lirih:
“kembalilah ke dunia nyata, hai kau Penyair Muda!”
Tik-tok waktu tiba-tiba
henti membatu
Sial! Hilang kemana
kertas catatanku?
Yogyakarta, 24 Maret 2011
Aku, Kamu, dan Foto Yang Kau Sobek Separuh Itu
Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti—mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga:—Matiku muda—
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktu
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekap pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jamlarut
daun ketapang makin lebat berguguran
diluar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan
berkelakar
yang mengajak
tertawa—itu bahasa
semesta yang dimengerti
Berhadapan muka,
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin.
—Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih,
juga angan-angan dan selera
keisengan—
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
—Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit—
(Subagio Sastrowardoyo, 1970)
Di langit, arak-arakan awan ke utara
Lalu mendung diam-diam
menguntit dibelakangnya
(ah, hujan tinggal menunggu waktu
untuk ditaburkan!)
Di darat, keretaangin lalu-lalang.
Tergesa. Mungkin berlomba dengan
tik-tok jam: mengejar nasib yang sudah
sampai duluan di garis depan
Di kamar, lamat-lamat kudengar
seniman asing berlagu tentang kematian
yang gapyak itu. Katanya: “bencana
bisa diciptakan kapan saja!”
Di gunung itu, aku tak tahu
masihkah Sisifus setia mendorong batu?
Salahnya telah diganjar sebuah hukuman
Sesalnya dia bayar dengan pengulangan-pengulangan
Kata orang: hidup ini apokaliptik
Kata yang lain: sejarah belum sampai titik!
Dan katamu, Sayangku:
“Akan kubawa kau terbang
ke pantai yang sepi nan lapang.
Meski kita tahu, di atas cakrawala itu
berserakan batu, bilah kayu, pecahan botol, dan
gedung-gedung yang hitam terpanggang…”
Gampingan, 2 Maret 2011
Di antara gugur cemara
dan cubit surya yang malu-malu
lamat-lamat kulihat wajahmu
Kaupungut satu yang jatuh di pasir:
kering, layu, ranggas
lalu kabur bersama muson barat
Ah, pertemuan selalu gegas
Meski salah satu kita datang terlambat
Senja telah beruluk salam, Abang...
Tapi tak jua kau antarkan aku pulang
Aku masih waras. Masih bisa
menulis sebait prosa, tentang ikal yang jatuh
perlahan di antara senyummu
Tentang anak-anak puisi
yang selalu mengusik tidurku itu?
Apa kita musti pulang sendiri-sendiri?
Kurasa begitu...
Aku mau naik pedati
Aku pilih jalan kaki
Maaf ya kalau badanku bau…
Karena peluhku adalah anak-anak gerimis
yang ikut berlarian sepanjang sekian kilometer
kukayuh sepeda menuju rumah mungilmu itu
Apa peduliku, Ksatria?
Toh lelah badanku juga tak kalah bau…
Memasak kastangel keju sungguh menyita
detik-detikku untuk sekadar berdandan buatmu
Tapi duhai beruntungnya aku!
Karena sebelum pulang, kata pamit adalah
kecupku pada tetes mungil peluh di lembut keningmu
Sudah-sudah pulang sana!
Lekaslah mandi, ganti baju
lalu kenanglah aku…
Melihat Demokrasi dengan Kacamata The Shock Doctrine
The Shock Doctrine (2009) merupakan film dokumenter yang dibuat berdasarkan buku karangan Naomi Klien dengan judul yang sama. Di bawah arahan Mat Whitecross dan Michael Winterbottom, film ini berusaha menampilkan sebanyak dan sepadat mungkin informasi yang, tentu saja, digali lebih mendalam dan mendetail dalam buku aslinya. The Shock Doctrine (selanjutnya disingkat TSD, merujuk kepada buku maupun film) berusaha menjelaskan modus operasi ekonomi kapitalisme lanjut yang diterapkan oleh negara-negara adidaya seperti Amerika. Bahwa ternyata argumentasi “sistem kapitalisme akan mendorong kehidupan politik yang demokratis” atau sebaliknya “iklim politik yang demokratis memungkinkan sistem ekonomi kapitalis dapat hidup” tidak sepenuhnya benar. Dalam pengertian Karl Marx, yakni kapitalisme sebagai satu mode produksi, ternyata menyebar, berjalan, dan pada akhirnya meraup keuntungan dengan cara yang sangat brutal. Kapitalisme membutuhkan efek kejut agar dapat diterima sebagai satu-satunya sistem ekonomi dalam suatu konteks masyarakat. Atau lebih jelasnya, ketika masyarakat dilanda krisis tiba-tiba – baik yang given seperti bencana alam, atau yang designed seperti perang – maka semua orang akan berpikir tentang kepentingan pribadi mereka yang terusik. Di situlah pintu masuk kapitalisme: lewat bantuan pendidikan, rekonstruksi tempat tinggal, investasi, atau bahkan pada level yang lebih makro seperti perombakan sistem ekonomi nasional.
Beberapa contoh kasus coba ditampilkan guna menunjukkan betapa vulgarnya proses munculnya ‘kapitalisme bencana’ tersebut. Pemerintahan demokratis Salvador Allende dengan kebijakan-kebijakan ekonominya yang sosialis, harus runtuh oleh kudeta berdarah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet yang kemudian menjadi pintu masuk bagi sistem ekonomi kapitalis, dengan Milton Friedman dan The Chicago Boys sebagai punggawanya. Allende sendiri tewas mengenaskan dalam kudeta tersebut. Begitu juga saat terjadi Perang Irak, yang memaksa Saddam Husein harus rela mati di tiang gantungan dan membuka jalan bagi para kontraktor dan konsultan ekonomi untuk masuk dan “membuka lahan baru”, dengan dalih rekonstruksi fisik dan non-fisik pasca perang. Hal yang sama berlaku saat terjadi bencana tsunami yang melanda sebagian wilayah Sri Lanka, India, dan Sumatera. Naomi Klien sendiri pernah melakukan studi lapangan pasca-tsunami di Sri Lanka. Fakta mencengangkan dia temukan: tanah-tanah milik nelayan yang jadi korban tsunami dibeli oleh para investor dan dijadikan hotel berbintang. Secara psikologis, apalagi yang bisa diharapkan korban tsunami selain kucuran dana para investor di tengah desperate situation macam itu?
Dari kacamata TSD tersebut, kita dapat menyoal dan mengkritisi model demokrasi liberal yang selama ini diagung-agungkan dan disebarkan idenya oleh negara seperti Amerika. Ternyata demokrasi liberal tidaklah se-“demokratis” yang kita bayangkan. Penyebaran gagasan demokrasi liberal justru dilakukan dengan cara yang brutal, keras, dan memakan korban. Bila Amerika memandang pemerintahan Saddam Husein di Irak sebagai sebuah kediktatoran yang kejam, dan untuk itu perlu untuk didemokratiskan, sebenarnya sungguh kontradiktif karena Amerika memulainya dengan perang yang jelas berpotensi merusak. Penyebaran gagasan demokrasi liberal, laiknya sistem ekonomi kapitalis, juga memerlukan shock therapy, agar si pasien terapi (dalam kasus ini: korban perang) menjadi gamang dengan apa yang sedang terjadi dan pada akhirnya siap menelan mentah-mentah ideologi apa yang sedang disuntikkan kepada mereka. Rakyat Irak sebagai korban perang, terutama yang pro-Saddam, mungkin terbersit juga di benak mereka untuk resisten terhadap kebijakan Amerika. Tetapi mereka tidak tahu harus melawan dengan cara apa. Itulah yang disebut Naomi Klien sebagai kondisi shocked/ terkejut.
Mungkin bisa pula kita katakan demokrasi liberal dan sistem kapitalisme – meski hubungan keduanya seringkali ambivalen – adalah satu paket: artinya, bisa disebarkan baik dengan cara yang paling bersahabat atau dengan cara yang paling violent seperti yang digambarkan secara jeli dalam TSD. Bukti konkretnya, ketika perang Irak berlangsung hingga Juli 2007, tercatat lebih banyak jumlah kontraktor daripada tentara Amerika yang datang ke Irak, tentu sebagai pemain dalam ‘lahan basah’ di daerah pascaperang itu. Atau mungkin saja, dengan cara pandang yang sedikit ‘nakal’, demokrasi liberal hanya sekadar komoditi dari sistem ekonomi kapitalis lanjut. Mengapa? Karena dia hanya digunakan sebagai dalih saja, yakni proses demokratisasi di negara yang selama bertahun-tahun tunduk di bawah rezim diktator. Toh, masa rekonstruksi pascaperang justru menjadi lahan baru bagi perusahaan-perusahaan besar, tanpa pernah berpikir tentang praktik kekerasan yang menghantarkan mereka sehingga dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Yogyakarta, 2 Januari 2011
Pohon mangga paruh baya
tumbuh teduh di depan rumahmu
di antara pot-pot kecil, kawan-kawannya
waktu masih benih dulu:
__________mawar, pandan, kamboja,
__________talas, suji, juga rumput teki
Dia selalu setia jadi yang ketiga
kala kita asyik duduk berdua
mengobrolkan apa saja: lalu tanpa sadar
__________kita pungut daunnya yang lurut
__________kita sobeki tanpa arti
__________(gagap dan gugup berlomba kita tutupi)
Kubayangkan saat musim petiknya tiba
kita kecap manis buahnya berdua
dan dia pun bergoyang di atas kita bersama udara
Masih saja setia menjadi yang ketiga,
__________yang keempat bulir embun di bibir daunnya
__________yang kelima seekor gereja yang numpang hidup
__________bersama bayi-bayinya
Tapi sore itu ada yang salah
dari halaman rumahmu
Pohon mangga paruh baya sudah tak ada!
Seseorang telah memaksa sang akar bersabar
__________mengasuh calon tunasnya
__________agar kelak jadi entah yang ke berapa
__________meneduhi gelak tawa anak-anak kita
Tentang Saya
- Damar Nugrahono Sosodoro
- Yogyakarta, DIY, Indonesia
- Tarung batin antara apollonian dan dionysian, meski tidak pernah memenangkan siapa-siapa. Senang berkenalan dengan Anda!