Mirzmade

ikhtiar memelihara klangenan bernama aksara

23.21

Duka Dalam Anak Alam

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Untuk kesekian kali aku tatapi. Malam ini wajah-wajah ditundukkan. Orang-orang yang tidak maupun saling kenal berkumpul dalam temaram cahaya di selasar itu, menunggu kabar yang selalu saja lalu-lalang berseliweran. Sekejap saja hening menyelimuti, memenggal obrolan yang sesaat mengisi ruang hampa kebisuan. Dipenggal putus oleh warta duka dari jalin-kelindan kabut Mahameru. Duka atas perginya sang anak alam, yang juga adalah kawan, sahabat, adik, keluarga, atau bahkan kekasih tercinta.

Mungkin di lain tempat di luar sana, sanak saudara berkumpul di sebuah rumah mungil, juga sedang meratapi warta duka yang baru saja menyapa. Puja-puji dilafalkan, ayat-ayat dibacakan, uba-rampe disiapkan, jampi-sesaji dihidangkan. Ikut menghantar pulangnya buah hati semata wayang, menyusul ayah yang lebih dulu pamit pergi.

Aku pun tiba-tiba turut bisu. Meratapi duka yang masih saja merajai hati setiap mereka yang hadir menanya kabar, meski tanpa tahta dan mahkota. Jujur saja, dia sang anak alam selalu anonim bagiku. Meski begitu, kami hidup di bawah atap yang sama. Sama-sama anak kemarin sore yang sedang belajar hidup tanpa botol susu. Mencoba memecah kebisuan nalar dan kebekuan kalbu, lewat sepenggal eksistensi. Sekelumit dialektika sarat makna tanpa koma. Dan lalu sebuah kepastian datang, yang sontak mementahkan harapan sekaligus merobohkan kecemasan. Kepastian yang selalu saja membuat kita menundukkan kepala.

Dan untuk kesekian kali aku tatapi: al-maut kembali menjemput para ciptaan yang bisu nan kaku. Menggotong mereka berkelana, untuk selanjutnya menetap entah sampai kapan di seberang sana. Setiap yang hidup pasti mati, kata firman. Lalu bagi yang ditinggal mati cuma punya satu kewajiban, yang terkadang kurasa terlalu usang untuk didengungkan, tapi selalu saja berjasa melipur kesedihan: sabar. Ya, cuma itu kewajiban buat mereka yang bersepi ditinggal pergi, mereka keluarga dan kawan-kawan seperjuangan. Dan bagiku juga yang tak mengenalnya. Yang baru kenal setelah dia berpamitan.

Kali ini, baginya waktu telah menjelma sebuah tanda titik. Sebuah kalimat penutup yang melerai segala rumitan dalam narasi panjang cerita hidupnya. Cerita perjuangannya mendobrak tapal batas kebungkaman. Namun bagi kita, waktu masih saja berhasil menghentikan ludah untuk ditelan kerongkongan. Karena tetap saja, mentari esok pagi atau hujan semester depan adalah sebuah tanda tanya.

Yogyakarta, 3 Agustus 2009

[jejalin aksara sebagai karangan bunga belasungkawa, menghantar kepergian Andika Listiono Putro, mahasiswa Administrasi Negara angkatan 2008, sekaligus aktivis Keluarga Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup Setrajana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada]


2 komentar:

tyas wirani mengatakan...

innalillahi. turut berduka juga mas.

Rika Nova mengatakan...

ah mir. tulisanmu berat. sebagai mahasiswa proletar aku ra mudeng. ayo mampir ke blog ku. bicarakan yg ringan ringan. dengan bahasa yg ringan ;) http://jengsueb.blogdrive.com

Posting Komentar

Subscribe