Seorang kawan bilang saya ini sudah setengah perempuan. Jujur saja saya terusik dengan pernyataan ini, karena ujaran tersebut datang dari seorang perempuan. Bagi saya, ucapan tersebut menjadi niscaya, karena minimal dia punya objektifitas ketika harus mengatakan sisi (non-fisik!) mana dari diri saya yang sudah benar-benar perempuan – toh tetap saja, yang paling tahu ihwal ciri-ciri satu identitas adalah sang pemilik identitas itu sendiri.
Sebagai laki-laki saya sepenuhnya sadar, ketika berhadapan dengan seorang perempuan saya akan memperlakukannya sepenuhnya sebagai seorang perempuan. Tanpa pernah ada tendensi untuk berpretensi (bahkan pada tataran yang paling 'pola pikir' sekalipun) untuk menjadi seorang perempuan. Maka, seperti saya bilang di atas, saya kaget betul dengan ucapan kawan tersebut, karena saya benar-benar tidak sadar bahwa entah cepat atau lambat perlakuan saya terhadap mereka telah berubah laiknya perlakuan seorang perempuan terhadap perempuan yang lain.
Saya betulan tidak paham. Lalu pikiran saya mulai berlarian kesana-kemari, mulai mengaitkan satu hal dengan hal lain. Jangan-jangan inilah kecenderungan pada mereka yang mengidap, atau merasa mengidap, oedipus complex. Sedikit mengingat mitos Yunani kuno itu, Sang Oedipus (pun) sepenuhnya tidak menyadari bahwa dia telah membunuh ayah kandungnya, dan pada akhirnya mengawini ibu kandungnya sendiri. Ya. Parabelnya: saya sepenuhnya juga tidak sadar bahwa identifikasi terhadap sosok kelaki-lakian, 'ayah konseptual', atau maskulinitas, telah perlahan-lahan saya bunuh. Dan satu-satunya subjek yang paling mungkin untuk saya identifikasidirikan adalah sosok keperempuanan atau feminitas. Mungkin faktor psikologis (atau psikoanalisis?) itulah yang membuat saya pada akhirnya dicap sebagai setengah perempuan.
Sebenarnya saya sempat berpikir untuk mengamini saja dakwaan kawan tersebut. Asumsi saya: pertama, dia punya objektifitas tersendiri ketika berkata seperti itu, lagi-lagi karena dia seorang perempuan; kedua, mungkin apa yang saya pikirkan di atas soal pengidap oedipus complex memang benar adanya, dan berpengaruh (dalam kasus ini) terhadap cara mereka memperlakukan lawan jenis mereka. Lagi-lagi dalam rangka ketika laki-laki sedang memperlakukan perempuan.
Namun pada akhirnya saya merasa hal tersebut cuma niscaya dalam konteks pertemanan atau persahabatan belaka. Karena, bagaimana kalau pertanyaannya kita balik: apa jadinya jika saya bertemu dengan calon istri yang berkebalikan 180 derajat dengan saya, yang ternyata dia telah lama merindukan sosok ekstra-maskulin, yang telah lama pula absen dalam kehidupannya? Apakah saya harus memaksakan diri untuk mencari sosok feminin secara fisis namun maskulin secara psikologis?
Aduh, sudahlah! Lagi-lagi saya cuma meracau. Mungkin ini efek tidur terlalu larut dan terbangun terlalu dini saat pagi saja masih terlalu sepi. "Kamu tidak sedang menulis, Pram. Kamu berak!", kata Idrus kepada fans beratnya: Pramoedya Ananta Toer.
Sebagai laki-laki saya sepenuhnya sadar, ketika berhadapan dengan seorang perempuan saya akan memperlakukannya sepenuhnya sebagai seorang perempuan. Tanpa pernah ada tendensi untuk berpretensi (bahkan pada tataran yang paling 'pola pikir' sekalipun) untuk menjadi seorang perempuan. Maka, seperti saya bilang di atas, saya kaget betul dengan ucapan kawan tersebut, karena saya benar-benar tidak sadar bahwa entah cepat atau lambat perlakuan saya terhadap mereka telah berubah laiknya perlakuan seorang perempuan terhadap perempuan yang lain.
Saya betulan tidak paham. Lalu pikiran saya mulai berlarian kesana-kemari, mulai mengaitkan satu hal dengan hal lain. Jangan-jangan inilah kecenderungan pada mereka yang mengidap, atau merasa mengidap, oedipus complex. Sedikit mengingat mitos Yunani kuno itu, Sang Oedipus (pun) sepenuhnya tidak menyadari bahwa dia telah membunuh ayah kandungnya, dan pada akhirnya mengawini ibu kandungnya sendiri. Ya. Parabelnya: saya sepenuhnya juga tidak sadar bahwa identifikasi terhadap sosok kelaki-lakian, 'ayah konseptual', atau maskulinitas, telah perlahan-lahan saya bunuh. Dan satu-satunya subjek yang paling mungkin untuk saya identifikasidirikan adalah sosok keperempuanan atau feminitas. Mungkin faktor psikologis (atau psikoanalisis?) itulah yang membuat saya pada akhirnya dicap sebagai setengah perempuan.
Sebenarnya saya sempat berpikir untuk mengamini saja dakwaan kawan tersebut. Asumsi saya: pertama, dia punya objektifitas tersendiri ketika berkata seperti itu, lagi-lagi karena dia seorang perempuan; kedua, mungkin apa yang saya pikirkan di atas soal pengidap oedipus complex memang benar adanya, dan berpengaruh (dalam kasus ini) terhadap cara mereka memperlakukan lawan jenis mereka. Lagi-lagi dalam rangka ketika laki-laki sedang memperlakukan perempuan.
Namun pada akhirnya saya merasa hal tersebut cuma niscaya dalam konteks pertemanan atau persahabatan belaka. Karena, bagaimana kalau pertanyaannya kita balik: apa jadinya jika saya bertemu dengan calon istri yang berkebalikan 180 derajat dengan saya, yang ternyata dia telah lama merindukan sosok ekstra-maskulin, yang telah lama pula absen dalam kehidupannya? Apakah saya harus memaksakan diri untuk mencari sosok feminin secara fisis namun maskulin secara psikologis?
Aduh, sudahlah! Lagi-lagi saya cuma meracau. Mungkin ini efek tidur terlalu larut dan terbangun terlalu dini saat pagi saja masih terlalu sepi. "Kamu tidak sedang menulis, Pram. Kamu berak!", kata Idrus kepada fans beratnya: Pramoedya Ananta Toer.
Condongcatur, 2 Juni 2010
0 komentar:
Posting Komentar