Agar bisa membaca sajak berfrasa-frasa
saya butuh cahaya
saya butuh Anda
Hujan meneduhkanmu dari ketergesa-gesaan
Lalu angin mendesir getir, pada sela-sela pasak
penyangga hidupmu, pada kobar tungku
pengusir sementara dinginmu
Kepul-kepul asap kretek adalah
pelacur paling setia
Juga bait-bait dhandanggula
oleh dalang tua dari radio tua
Atau tiba-tiba hentakan tabla
− datang merangsek entah dari mana
Menunggu matinya malam dan
istri tercintanya: hujan…
(Lalu perahumu berlabuh pada subuh
yang merekah merah, pecah!)
“Sudahlah, Dik, terserah saja
Mungkin memang kuwalatku
karena tega membalik waktu
Tapi ingat! Masa depan sudah
sejak lama meninggalkan saya”
Sebagai laki-laki saya sepenuhnya sadar, ketika berhadapan dengan seorang perempuan saya akan memperlakukannya sepenuhnya sebagai seorang perempuan. Tanpa pernah ada tendensi untuk berpretensi (bahkan pada tataran yang paling 'pola pikir' sekalipun) untuk menjadi seorang perempuan. Maka, seperti saya bilang di atas, saya kaget betul dengan ucapan kawan tersebut, karena saya benar-benar tidak sadar bahwa entah cepat atau lambat perlakuan saya terhadap mereka telah berubah laiknya perlakuan seorang perempuan terhadap perempuan yang lain.
Saya betulan tidak paham. Lalu pikiran saya mulai berlarian kesana-kemari, mulai mengaitkan satu hal dengan hal lain. Jangan-jangan inilah kecenderungan pada mereka yang mengidap, atau merasa mengidap, oedipus complex. Sedikit mengingat mitos Yunani kuno itu, Sang Oedipus (pun) sepenuhnya tidak menyadari bahwa dia telah membunuh ayah kandungnya, dan pada akhirnya mengawini ibu kandungnya sendiri. Ya. Parabelnya: saya sepenuhnya juga tidak sadar bahwa identifikasi terhadap sosok kelaki-lakian, 'ayah konseptual', atau maskulinitas, telah perlahan-lahan saya bunuh. Dan satu-satunya subjek yang paling mungkin untuk saya identifikasidirikan adalah sosok keperempuanan atau feminitas. Mungkin faktor psikologis (atau psikoanalisis?) itulah yang membuat saya pada akhirnya dicap sebagai setengah perempuan.
Sebenarnya saya sempat berpikir untuk mengamini saja dakwaan kawan tersebut. Asumsi saya: pertama, dia punya objektifitas tersendiri ketika berkata seperti itu, lagi-lagi karena dia seorang perempuan; kedua, mungkin apa yang saya pikirkan di atas soal pengidap oedipus complex memang benar adanya, dan berpengaruh (dalam kasus ini) terhadap cara mereka memperlakukan lawan jenis mereka. Lagi-lagi dalam rangka ketika laki-laki sedang memperlakukan perempuan.
Namun pada akhirnya saya merasa hal tersebut cuma niscaya dalam konteks pertemanan atau persahabatan belaka. Karena, bagaimana kalau pertanyaannya kita balik: apa jadinya jika saya bertemu dengan calon istri yang berkebalikan 180 derajat dengan saya, yang ternyata dia telah lama merindukan sosok ekstra-maskulin, yang telah lama pula absen dalam kehidupannya? Apakah saya harus memaksakan diri untuk mencari sosok feminin secara fisis namun maskulin secara psikologis?
Aduh, sudahlah! Lagi-lagi saya cuma meracau. Mungkin ini efek tidur terlalu larut dan terbangun terlalu dini saat pagi saja masih terlalu sepi. "Kamu tidak sedang menulis, Pram. Kamu berak!", kata Idrus kepada fans beratnya: Pramoedya Ananta Toer.
Tarzan Kota, atau Kerbau Yang Dicolok Hidungnya
Awal semester genap, seperti sekarang ini, selalu jadi momen tersendiri bagi para siswa (juga orang tuanya) yang hampir habis jatahnya duduk di bangku sekolah menengah atas. Kenapa bisa? Tentu saja, ada serentetan fase kecil yang harus mereka hadapi sebelum melangkahkan kaki menuju fase besar dalam hidup mereka. Maksud saya, para siswa harus melewati fase ujian akhir yang bakal menentukan lulus tidaknya mereka dari almamater yang menempa mereka selama tiga tahun. Eh, tunggu dulu, belum selesai sampai di situ! Selanjutnya mereka bakal diperas otaknya untuk memikirkan jawaban dari satu pertanyaan, yang mungkin selalu jadi hantu yang menggentayangi semua anak didik di negeri ini, termasuk saya sendiri: “Nak, setelah lulus sekolah, mau ngelanjutin kuliah atau langsung kerja?”
Menarik untuk menelusur ke belakang kemunculan pertanyaan di atas. Okelah, hal itu sudah jadi logika umum pada masyarakat kita, bahwa mereka jelas tidak mengharapkan para lulusan sekolah menengah atas luntang-lantung jadi pengangguran. Maka muncul pilihan: kuliah atau kerja. Karena hanya dua pilihan itu yang mungkin dijalani oleh sang lulusan.
Tapi, sedikit melompat jauh, sebenarnya saya tertarik dengan satu logika (yang mungkin berkembang secara umum juga), tentang satu linear yang musti dijalani para anak didik. Logika yang saya maksud adalah “polarisasi nasib” lulusan SMA dan lulusan SMK. Yang selama ini terpikir di nalar masyarakat kita adalah bahwa lulusan SMA “seharusnya” meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (baca: bangku kuliah). Dan para lulusan SMK “seharusnya” bisa langsung masuk ke dunia kerja. Diakui atau tidak, mindset itulah yang berlaku, khususnya pada para tenaga pendidik yang pada akhirnya ditularkan pula kepada anak didik mereka. Kalau boleh merubah satu peribahasa kuno: Bagaikan makan buah simalakama, masuk SMA harus kuliah, masuk SMK harus kerja…
Mereka yang memutuskan masuk SMA setelah lulus sekolah menengah pertama, dari awal sudah disadarkan akan konsekuensi yang harus mereka tanggung setelah lulus SMA, yakni masuk bangku kuliah. Argumen pembenarnya: di SMA para siswa bakal diajari pengetahuan-pengetahuan dasar yang sifatnya konseptual, yang harus mereka asah selama berproses di
Namun sejak awal marilah kita lepaskan pembicaran ini dari munculnya fenomena lulusan SMA yang langsung kerja, atau sebaliknya, lulusan SMK yang meneruskan pendidikannya di bangku kuliah. Eh, tidak jadi ding! Justru di situ letak permasalahannya!
Sebenarnya saya mau curhat saja lewat tulisan ini. Bayangkan: Anda memiliki seorang adik. Usia kira-kira 17-18 tahun. Saat lulus SMP, dia sangat menggebu-gebu ingin masuk SMK. Argumen dia adalah, bahwa para guru di SMP-nya mendorong para lulusan mereka untuk masuk ke SMK, dengan berpijak pada (kalau tidak salah) imbauan Menteri Pendidikan yang menargetkan 70% lulusan SMP harus masuk SMK, dalam rangka menyiapkan tenaga kerja terampil guna menghadapi tantangan pasar bebas. Dan hal itu menjadi satu euforia bahkan utopia baginya dan teman-teman seangkatannya. Dengan berbekal tekad, semangat, usaha, dan utopia tadi, dengan tergopoh-gopoh berangkatlah dia mendaftar di salah satu SMK. Dan, voila!, diterimalah dia di sekolah itu. Selama bersekolah di
Saya pun sadar, bahwa hal itu mungkin bukan sesuatu yang melulu buruk baginya. Bisa jadi merupakan satu lompatan revolusioner bila dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya yang (mungkin) lebih memilih untuk bekerja setelah lulus – atau sialnya jadi pengangguran, karena tak memiliki cukup kompetensi dan koneksi. Namun dari hal itu saya melihat suatu kejanggalan tersendiri. Dia begitu kedodoran menghadapi serangkaian hal yang harus dia jalani agar bisa masuk ke perguruan tinggi. Satu contoh sederhana, saat dia harus menentukan jurusan apa yang bakal dia pilih di perguruan tinggi. Kenapa? Karena dia tidak terlalu paham (atau malahan tidak pernah membayangkan bakal bertemu) dengan terminologi-terminologi aneh namun selalu berlaku macam passing-grade: yakni seberapa besar peluangnya diterima di satu jurusan tertentu bila ditinjau dari berapa banyak kuota yang bisa diisi calon mahasiswa serta seberapa banyak pula peminat jurusan tersebut. Belum lagi bila harus membandingkan passing-grade satu jurusan dengan jurusan yang lain.
Mungkin di sekolahnya, atau di semua SMK, tata-pikir bahwa setelah lulus langsung kerja tersebut hampir berlaku mutlak. Dari kasus si adik, saya jadi curiga bahwa iklim pendidikan dan pengajaran di SMK tidak menyisakan tempat untuk para lulusannya yang ingin meneruskan ke perguruan tinggi. Artinya, tidak ada pembimbingan bagi anak didik yang “kasuistik” tersebut, guna memberikan bekal kepada mereka hal-hal yang terkait dengan seleksi masuk perguruan tinggi. Minimal menjelaskan kepada mereka, apa sih artinya passing-grade itu? – syukur-syukur bisa menguak, siapa orang dungu nan sok tahu yang bikin istilah aneh yang sama dungunya itu. Mungkin hal ini juga berkat pengaruh dari teman bermainnya yang mayoritas terdogma untuk setelah lulus langsung kerja.
Atau, jangan-jangan ketidaksiapan ini pun terjadi pada para pendidik di SMA, yang tergopoh-gopoh karena menghadapi anak didik “kasuistik” mereka yang justru ingin langsung kerja? Karena sepengalaman saya selama tiga tahun bersekolah di SMA, memang tidak pernah diajarkan, atau minimal dijelaskan, trik-trik apa yang bisa dilakukan lulusan SMA seandainya mereka tidak diterima di (atau memang tidak ingin masuk) perguruan tinggi. Tidak pernah dijelaskan kerja apa yang cocok dan sesuai dengan kompetensi lulusan SMA, yang notabene memang tidak se-practical para lulusan SMK. Minimal untuk mengisi kekosongan waktu (baca: nganggur) bagi mereka yang ingin kembali mengundi nasib dengan mendaftar kuliah lagi tahun depan.
Jangan lalai pula, bahwa dari masalah di atas yang mungkin terkesan sepele, terkadang muncul hipotesis-hipotesis yang sejatinya tak punya landasan argumen yang kuat. Bagi mereka yang sudah mapan dengan pekerjaan akan bilang: “Alah… jaman sekarang sekolah nggak usah tinggi-tinggi. Tuh, banyak sarjana pada nganggur kok!” Di lain pihak, mereka yang sudah tak lagi berpikir urusan perut alias subsistensi, dan leha-leha di bangku perguruan tinggi, bakal menyeletuk: “Kalau ingin membiarkan bangsa ini sekadar jadi bangsa pekerja untuk bangsa lain… ya sudah, suruh saja semua lulusan SMP masuk SMK!”
Pada akhirnya, bagi saya, output dari rentang pendidikan di sekolah menengah atas, SMA ataupun SMK, tidak tergantung dari plot linear yang sudah ditata sejak awal, seperti telah dijelaskan di atas. Keluaran dari rentang pendidikan – entah dari jenjang manapun – bergantung pada proses yang dijalani dan lalu dimaknai oleh masing-masing peserta didik. Dari rentang tersebut, banyak hal yang lagi-lagi, “seharusnya”, bisa diperoleh dan dipelajari oleh para siswa. Segala hal, entah yang berkaitan dengan proses pendidikan formal itu sendiri, atau justru yang langsung menyinggung keseharian hidup mereka. Sehingga, ketika sampai pada satu fase kritis seperti itu, mereka (atau kita) tidak akan sekadar jadi Tarzan yang tersesat di tengah kota, atau bahkan kerbau yang dicolok hidungnya.
“Hei Bung, ini lho wajah pendidikan
Gampingan, 8 Maret 2010.
♀ : “Dasar maling, keparat! Seenaknya saja kau curi hatiku!”
♂ : “Oh, begitu kah?”
♀ : “Masih bertanya lagi? Ayo sini, lekas kembalikan! Cepat!”
♂ : “Tidak. Aku tidak mau!”
♀ : “Tak ada alasan yang menguatkan tindakan bodohmu, laki-laki laknat!”
♂ : “Bila kukembalikan hatimu ini, aku yakin, pasti akan kau taruh sembarangan. Dan pencuri lain akan dengan lihai mengambilnya. Lalu kau cuma sibuk menyalahkan dirimu sendiri. Sudah, biar aku saja yang simpan!”
Tentang Saya
- Damar Nugrahono Sosodoro
- Yogyakarta, DIY, Indonesia
- Tarung batin antara apollonian dan dionysian, meski tidak pernah memenangkan siapa-siapa. Senang berkenalan dengan Anda!