Mirzmade

ikhtiar memelihara klangenan bernama aksara

10.20

Rocker (Memang Selamanya) Juga Manusia

Diposting oleh Damar Nugrahono Sosodoro |

Topik ini mungkin sebenarnya terlalu spesifik jika mau saya gebyah-uyah-kan pada semua musisi yang basis genre-nya adalah rock, atau jenis musik lain yang berbau cadas nan keras. Karena realitanya masih banyak grup musik di seantero jagad raya yang musik dan liriknya tak tanggung-tanggung beringasnya. Sampai-sampai selalu kita dapati label yang menempel pada cover album mereka: PARENTAL ADVISORY, EXPLICIT CONTENT. Entah tujuan pemasangan label itu sebenarnya apa, atau maksud saya, pemaknaan apa yang sebenarnya diinginkan oleh si badan sensor musik dengan membubuhkan kata explicit pada label peringatan tersebut. Jujur bagi saya ini membingungkan. Seolah ada bahaya laten yang mengancam, terutama, generasi muda penikmat musik. Meski sebenarnya saya tak terlalu paham, macam mana pula selera musik anak muda jaman sekarang yang dibilang gaul itu. Apakah musik dengan warning-label di atas masih 'payu' di telinga mereka, saya tak tahu.

Terlepas dari masalah itu, sebenarnya saya ingin membicarakan hal lain, tentu masih dalam koridor musik. Seperti disingung sepintas di atas, ketika mendengar kata 'rock' pasti konstruk yang terbangun pada nalar kita adalah jenis musik yang keras, cadas, beringas, sound-sound yang distortif, lirik tentang hidup yang bebas wal ugal-ugalan, dan sebagainya. Dan citra itu begitu melekat pada musik rock. Tapi belakangan saya sedikit terpantik untuk berpikir hal lain. Dari dulu, meski rock sangat lekat dengan citra di atas, namun ada tema khusus yang selalu saja menyelinap keluar di tengah hiruk pikuk cadasnya tema musik rock: cinta.

Saya jadi bertanya-tanya. Bila kehidupan rocker identik dengan tema cadas yang selalu hadir dalam musik mereka, lalu kenapa mereka selalu menyisakan tempat untuk tema cinta, yang notabene berseberangan 180 derajat dengan tema umum yang selalu mereka usung? Jangan-jangan kehidupan para rocker (bila diproyeksikan dari lagu cinta bikinan mereka) tidak se-'rocker' yang kita bayangkan?

Sedikit review, belakangan saya sedang gemar mendengarkan album solo-nya gitaris rock Richie Kotzen. Historisnya, dia pernah bergabung dengan grup rock Poison. Bisa kita bayangkan bagaimana musikalitas yang dulu dia tampilkan. Pernah juga memperkuat Mr. Big. Yah, walaupun grup yang satu ini juga kerap nyerempet tema-tema cinta. Namun setelah bersolo karir hingga sekarang, nuansa rock yang cadas tetap berandil besar dalam nomor-nomor lagunya. Tapi setelah saya amati (baca: dengarkan), tema cinta selalu muncul di antara sekian track dalam satu album besutannya. Dan kupikir kontras sekali dalam hal pemilihan sound maupun diksi lirik-liriknya. Ketika sedang 'cadas', ya sudah, bisa kita dengarkan geber suara distortif dari gitarnya. Namun bila sedang 'fall in love', maka akan kita dapati lirik-lirik romantis, sound yang manis, dan rentetan melodi yang di kuping selalu isis.

Terbukti (dari kasus Kotzen), mereka para rocker berambut gondrong bertampang garang itu tetap bisa 'romantis' dalam bermusik. Ya... meski omongan ini coba saya lepaskan dari kontradisksi: apakah mereka cuma cari duit dengan menulis lagu cinta yang laku di pasar, atau justru lagu itu muncul dari lubuk hati mereka terdalam sebagai ekspresi berkesenian mereka. Bila musik selalu dianggap sebagai bahasa yang paling universal dalam kehidupan manusia, maka lebih khusus lagi, saya pikir (dan masih relevan sampai sekarang) tema cinta juga selalu hadir menjadi 'bahasa universal' dalam musik. Toh masih tetap ada ukuran estetis di sana. Dan rocker pun mempertimbangkan hal tersebut. Dengan akhiran -er pada sebutan itu, yang menunjukkan bahwa
mereka selamanya memang manusia. Manusia yang mengerti estetika, yang mengerti cinta. []

3 komentar:

Icang mengatakan...

"..tema cadas yang selalu hadir dalam musik mereka, lalu kenapa mereka selalu menyisakan tempat untuk tema cinta, yang notabene berseberangan 180 derajat dengan tema umum yang selalu mereka usung? "

mungkin sebenarnya tidak berseberangan 180 derajat kang, justru malah sumbernya itu cinta , cinta pada diri mereka dan kebebasan mereka dalam berekspresi dalam hal ini menjadi cadas ..huheheh ..

koyone aku nomer siji ki :d

tyas wirani mengatakan...

eh mas. setelah mendengar album kotzen yang bertajuk slow, kok kayanya musiknya engga cuma rock ya. bahkan ada yang rada blues jazzy gitu. hhe.

kalo saya mah, mau musik apa aja no problemos. asal masi enak didengar.
:D

Unknown mengatakan...

nice blog mar..
CINTA? mungkin bisa aja karena mereka (memang) manusia yg butuh cinta... dan, tapi,, juga butuh uang.. dengan mengangkat tema cinta, jelas bakal lebih komersil, banyak penikmatnya.. dan yang jelas tambah laku. kayaknya sih gt kalo menurutku...

Posting Komentar

Subscribe