Mungkin sudah lebih dari tiga ratus sekian hari
tak juga kutemukan alasan untuk menulis puisi
Barang sebait saja serasa tak pernah ini pena
mampu menyelesaikan lembar kerjanya
Langkahku gontai menyusuri antah-berantah,
tentang mana yang tidak dan mana yang pantas
Atau sudah waktunya menulis ulang sejarah
supaya lepas-jebak dari kisah cinta yang tak tuntas
Hingga pada suatu hujan, kau datang padaku
dengan tatapan-anak-kecil dari kedua matamu
Entah mengapa rongga dada ini pelan-pelan terbuka
lalu ribuan kupu-kupu masuk dan beterbangan di dalamnya
Jangan terburu-buru, kau belum kenal betul siapa aku
Aku perempuan biasa, bukan Maria Yang Tanpa Cela
Lantas bagaimana mungkin dosa
bakal dicatat lipat ganda, bila ternyata:
saat kuselami dalamnya palung hatimu
kutemukan dari mana asal-usulku
saat kujelajahi luasnya padang nalarmu
langkahku kini tak lagi ragu?
Tapi sesungguhnya: di hatiku tidak ada apa-apa
Selain berlembar-lembar catatan trauma
yang mungkin takkan pernah selesai kau baca…
(Pelan-pelan air matamu titis, serasa ingin kuseka
Kenapa pula di luar gerimis seolah tak pernah reda?)
Manisku, mencintaimu adalah
memaafkan segala kesalahan masa lalu
Yang bahkan tak pernah, dan takkan pernah
dengan sengaja kau tujukan padaku.
Cicak-cicak masih sibuk menggerutu
dari balik plafon di losmen tempat kita bermalam
Diiringi berisik tik-tik-tik dari bak mandi itu
Jangan bodoh, mana ada tukang pipa 24 jam?
Tapi tak satupun, ya, tak satupun dari mereka mengerti
ihwal kemana dan kenapa ada perjalanan panjang ini
Kita bisa singgah dan istirah di pantai atau bukit yang indah
Kita bisa sesekali kalah berjudi, hampir hilang kau punya jari!
Kita bisa ziarah ke makam kyai, presiden, simbah, atau siapalah
Kita bisa kehabisan bensin di tengah bulak yang sunyi
…atau semalaman berpelukan di balik selimut tipis ini?
Aspal keras dan panas yang kita susuri, mengular
seperti dua puluh sekian senti helai rambutmu
yang tertinggal di atas bantal
Aih lelaki, jangan harap ada kopi pagi
tanpa cium, senyum, dan lesung di pipi!
Yang buta adalah peta
Yang antah-berantah adalah cinta…
Bila nanti tak kau temukan jalan pulangmu
lantas maukah kau tersesat bersamaku?
Selama masih ada siang dan malam
Selama masih ada pagi dan petang
Selama mulut masih fasih berbahasa
Selama telinga masih sudi terbuka?
Ya…
selama masih ada aku
selama masih ada kamu
Sore itu, matahari pelan-pelan melepas baju putihnya
Lewat ventilasi ia intip wajahmu yang sedikit tegang
Mungkin karena direpotkan oleh pertanyaan: apa beda
yang sekarang dan yang akan datang
Diam-diam digandengnya tanganmu untuk sejenak istirah
berkawan rindangnya mangga, di bangku usang depan rumah
Dari kejauhan sayup-sayup bunyi kereta
juga riangnya kanak-remaja berangkat TPA
Duduk di atas sepeda adalah aku, memandangmu dari kejauhan
Ikal rambutmu tak pernah berubah: jadi jingga bila terpapar senja
Meski aku ingat betul ia sebenarnya kecokelatan
Ah... apalah gunanya mata bila tak ada cahaya!
Bolehkah kuhampiri, lalu duduk berdua
mulut sunyi, hanya pandang mata ke barat sana?
Biar saja kita selalu alpa: antara aku, kamu, dan waktu
siapa yang sesungguhnya mesti bicara lebih dulu
Karena buat seorang lelaki pemalu, semua seolah selesai
Saat percakapan yang beku terbayar tatap-muka yang damai
Di kamar ini musim tak lagi kita kenali
Dikurungnya hangat rapat-rapat, sementara di luar
hujan yang tempias pada teras membuatmu gusar.
Atau diundangnya sejuk, mungkin juga kantuk
Kala terik kemarau memantul pada aspal
di rute jalanpulangku yang sudah lama kuhafal.
Detak waktu seolah henti berbunyi
atau justru tumpah ruah, entahlah
Mungkin mengintip kita berdua yang tengah asyik
bicara soal sejarah, pantai tempat tetirah, kebun kamboja
atau soal asmara yang kabarnya selalu mendua.
Lalu pada suatu pagi, anak-anak mentari diam-diam
menyelinap ke kamar ini lewat ventilasi. Diikuti
bau kecut rambutmu yang kekal pada sarung bantal.
Mata kita terbuka hampir bersama. Sesimpul tawa.
Ah, lelah kita telah lerai pada kisut sprei…
Nama memang tak penting buat kamar ini.
Karena akan tetap ada spasi
buat selarik melankoli.
Tentang Saya
- Damar Nugrahono Sosodoro
- Yogyakarta, DIY, Indonesia
- Tarung batin antara apollonian dan dionysian, meski tidak pernah memenangkan siapa-siapa. Senang berkenalan dengan Anda!