Di satu warung di sudut kota. Aku yang menggigil diserang lapar. Teh panas kuseruput, mi rebus lahap kusantap. Sejurus kemudian asap rokok halus mengepul, seiring antologi puisi dan waktuku nan lambat bergumul. Kulihat seorang gelandangan mondar-mandir di depan warung, telanjang kaki dengan sebelah celana yang dilinting ke atas. Mungkin kepada Tuhan ia marah, karena tak pernah kabul dikasih rumah. Tak berapa lama, sontak ia nyelonong masuk ke dalam, meraih pemantik, lalu menyalakan sekian senti puntung lisong yang entah ditemunya di mana. Aku tertinggal satu pandangan, sang gelandangan sudah tak ada. Asap dan puisi, kuhisap dan kuresapi dalam-dalam. Kuterkejut, karena sesaat berikutnya ia kembali lagi, meraih pemantik, lalu menyalakan sekian senti puntung lisong yang entah ditemunya di mana. Lalu pergi, kembali, puntung lain, pergi, kembali, puntung lain, pergi, kembali, puntung lain... begitu seterusnya. Huh! malam macam apa ini? Stanza-stanza tak jua digdaya mengusir sepi. Apalagi menghalangi sang gelandangan memungut ceceran rejeki. Meski cuma beberapa senti yang samadengan beberapa detik lagi menuju mati. Sudahlah, aku mau pulang saja. Ingin kutulis semua, walau toh tak juga ada gunanya. Mungkin akan kuhabiskan tetes terakhir sang lail dengan bermimpi, setelah seharian lelah beronani.
Yogyakarta, 7 Januari 2010